Masyarakat dan kebudayaan dimanapun selalu dalam
keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitive yang terisolasi
jauh dari berbagai perhubungan dengan masyarakat yang lainnya. Terjadinya
perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal :
1.
Sebab-sebab yang berasal dari dalam
masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi
penduduk.
2.
Sebab-sebab perubahan lingkungan alam
dan fisik tempat mereka hidup. Masyatakat yang hidupnya terbuka, yang berada
dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung
untuk berubah secara cepat.
Perubahan
ini, selain karena jumlah penduduk dan komposisinya, juga karena adanya difusi
kebudayaan, penemuan-penemuan baru, khususnya teknologi dan inovasi.
Perubahan
sosial dan perubahan kebudayaan ini berbeda. Dalam perubahan sosial
terjadi perubahan struktur sosial dan
pola-pola hubungan sosial, antaralain sistem status, hubungan-hubungan dalam
keluarga, sistem politik dan kekuasaan, serta persebaran penduduk. Sedangkan
yang dimaksud perubahan kebudayaan ialah perubahan yang terjadi dalam sistem
ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang
bersangkutan, antaralain aturan-aturan, norma-norma, yang digunakan sebagai
pegangan dalam kehidupan, juga teknologi, selera, rasa keindahan (kesenian),
dan bahasa. Walaupun perubahan sosial dan perubahan kebudayaan itu berbeda,
pembahasan kedua perubahan itu tidak akan mencapai suatu pengertian yang benar
tanpa mengaitkan keduanya.
Suatu
bentuk perubahan sosial yang di dalam masyarakat dengan kebudayaan primitive
maupun dengan kebudayaan yang kompleks (maju) adalah proses imitasi, yang
dilakukan oleh generasi yang muda
terhadap generasi yang lebih tua. Proses ini dilakukan dengan belajar meniru
yang belum tentu sempurna, bahkan tak sempurna, dari berbagai pola tindakan
orang tua sehingga hasilnya berjalan lambat dan perubahannya baru terasa
apabila sudah mencapai jangka waktu yang panjang.
Sedangkan
perubahan di dalam masyarakat yang maju (kompleks) biasanya terwujud melalui
proses penemuan (discovery) dalam bentuk penciptaan yang baru (invention) dan
melalui proses difusi.
Jadi
discovery ini merupakan jenis penemuan baru yang mengubah persepsi mengenai
hakikat suatu gejala melalui hubungan dua gejala atau lebih. Invention adalah
suatu pembuatan bentuk baru yang berupa benda (pengetahuan) yang dilakukan
melalui proses penciptaan dan didasarkan atas pengombinasian-pengombinasian
pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada mengenai benda dan gejala.
Proses
penerimaan perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi diterima atau tidaknya
suatu unsure kebudayaan baru diantaranya:
1. Terbiasanya
masyarakat memiliki hubungan atau kontak dengan kebudayaan dan dengan orang-orang
yang berasal dati luar masyarakat tersebut.
2. Jika
pendangan hidup dan nilai-nilai yang dominan dalam suatu kebudayaan ditentukan
oleh nilai agama, dan ajatan ini terjalin erat dalam keseluruhan pranata yang
ada, maka penerimaan unsure-unsur baru itu mengalami kelambatan dan harus disensor
dulu oleh berbagai ukuran yang berlandaskan ajatan agama yang berlaku.
3. Corak
struktur sosial suatu masyarakat turut menentukan peoses penerimaan kebudayaan
baru. Misalnya, sistem otoriter akan sukar menerima unsure kebudayaan baru.
4. Suatu
unsure kebudayaan diterima jika sebelumbya sudah ada unsure-unsur kebudayaan
yan menjadi landasan bagi diterimanya unsure kabudayaan yang baru tersebut.
5. Apabila
unsure baru itu memiliki skala kegiatan yang terbatas, dan dapat dengan mudah
dibuktikan kegunaannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan.
PERISTIWA-PERISTIWA
PERUBAHAN KEBUDAYAAN
#Cultural lag
Cultural
lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan
suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara
saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara
umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri tehadap benda tersebut.
#Cultural survival
Istilah
ini ada sangkut pautnya dengan cultural lag karena mengandung pengertian adanya
suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu sampai
sekarang. Cultural survival adalah suatu konsep yang lain, dalam arti bahwa
konsep ini dipakai untuk menggambarkan suatu praktek yang telah kehilangan
fungsi pentingnya seratus persen, yang tetap hidup dan berlaku semata-mata
hanya di atas landasan adat istiadat semata-mata. Jadi pengertian lag dapat
dipergunakan paling sedikit dalam dua arti, yaitu:
1. Suatu
jangka waktu antara terjadinya penemuan baru dan ditrimanya penemuan baru tadi.
2. Adanya
perubahan dalam pikiran manusia dari alam pikiran tradisional ke alam pemikiran
modern.Terjadinya
cultural lag ialah karena adanya hasil ciptaan yang baru yang membutuhkan aturan-aturan serta pengertian yang baru yang
berlawanan dengan hukum-hukum serta cara-cara bertindak yang lama, tetapi
adapula kelompok yang memiliki sifat keterbukaan, malahan mengharapkan
timbulnya perubahan dan menerimanya dengan mudah tanpa mengalami cultural lag.
a. Pertentangan kebudayaan (cultural
conflict)
Pertentangan
kebudayaan ini muncul sebagai akibat relatifnya kebudayaan. Hal ini terjadi
akibat konflik langsung antar kebudayaan.
b. Guncangan kebudayaan (culture shock)
Hal
ini, Kalervo Oberg (1958) menyebutnya sebagai suatu penyakit jabatan dari orang
yang tiba-tiba dipindahkan ke dalam suatu kebudayaan yang berbeda dari
kebudayaannya sendiri, semacam penyakit mental yang tidak disadari oleh
korbannya.
Penyesuaian
diri antarbudaya dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intern
dan faktor ekstern. Faktor intern menurut Brislin (1981), ialah faktor watak
(traits) dan kecakapan (skills). Watak adalah segala tabiat yang membentuk
kepribadian seseorang. Kecakapan dipelajari mengenai lingkungan budaya yang
akan dimasuki, seperti bahasa, adat-istiadat, tata karma, keadaan geografi,
keadaan ekonomi, situasi politik, dan sebagainya. Selain keduanya itu, ada pula
juga sikap (attitude) seseorang berpengaruh terhadap penyesuaian diri antarbudaya.
Menurut Alport, yang dimaksud dengan sikap disini adalah kesiagaan mental atau
saraf yang terbina melalui pengalaman yang memberikan pengarahan atau pengaruh
terhadap bagaimana seseorang menanggapi segala macam objek atau situasi yang
dihadapinya.
·
REVITALISASI BENTENG VREDEBURG
Revitalisasi merupakan
suatu proses mendapatkan kebudayaan yang lebih memuaskan dengan penerimaan pola
inovasi berganda, melalui gerakan-gerakan tertentu. Hal ini merupakan yang
diucapkan pula oleh pengelola Benteng Vredeburg. Benteng yang didirikan sejak 1760 oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I atas permintaan Belanda pada masa itu, memiliki kisah yang
sedemikian panjang hingga menjadi bangunan legendaries seperti sekarang ini.
Benteng Vredeburg kini disebutnya, pada awalnya merupakan sebuah bangunan yang
sangat sederhana, yang di bangun hanya dengan tanah dan kayu pohon kelapa dan
aren, kini berubah menjadi sebuah bangunan yang kokoh. Hal ini terjadi karena
adanya revitalisasi dari masa ke masa disesuaikan dengan keadaan, manfaat dan
kepentingan pada masa itu.
Seperti apa yang telah
dijelaskan pada bagian sejarah di atas, bahwa dari masa ke masa pemerintahan
kasultanan, dan pendudukan Belanda, Benteng inipun mempunyai fungsi sebagai
tempat pengawasan keamanan keraton, namun bukan demikian adanya, melainkan
sebagai tempat mengontrol segala kegiatan yang ada di dalam keraton. Benteng
ini semula sebagai tempat pertahanan dan di jadikan sebuah tempat tahanan pada
masa perang dahulu. Benteng ini merupakan saksi peperangan 4 jaman pendudukan,
jelas narasumber kami yakni (Belanda, Jepang, Inggris dan Kemerdekaan). Pada
ke-empat jaman ini Benteng ini tetap berfungsi sebagai tempat pertahanan dan
perlindungan, dan semula ini bernama Rustenburg atau benteng peristirahatan.
Semakin maju jaman, semakin di kembangkan pula benteng ini, dan juga
dilaksanakan pemugaran agar senantiasa tetap terjaga.
Sejak 1992 benteng
Vredeburg resmi menjadi sebuah museum, yang kemudian juga benteng ini beralih
fungsi sebagai sebuah wahana wisata pendidikan dan budaya. Pada tahun 2011 lalu
telah berhasil dilaksanakan revitalisasi diorama 1 dan 2, yang kini telah
dilengkapi dengan fitur touch screen di setiap ruang diorama, sebagai sarana
penunjang untuk mendapatkan keterangan lebih lengkap mengenai
peristiwa-peristiwa sejarah yang disajikan dalam diorama. Hal ini tak lain
dikarenakan adanya penemuan dan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan demikian tampilan diorama semakin apik dan perubahan ini juga
diikuti oleh pertambahan minat dan jumlah pengunjung di Benteng Vredeburg. Tak
hanya itu pengelola atau pengurus benteng menyatakan perencanaan revitalisasi
lebih lanjut pada diorama 3 dan 4 yang kini sudah mulai terealisasi, dengan
harapan akan semakin menarik minat pengunjung dan pemeliharaan yang baru tanpa
menghilangkan keasliannya.
Benteng Vredeburg yang
kini berstatus sebagai museum lebih difungsikan sebagai wisata pendidikan oleh
karena itu kebanyakan pengunjung adalah rombongan sekolah-sekolah mulai dari
sekolah dasar SD, SMP, SMA, dan tanpa terkecuali mahasiswa perguruan tinggi
yang dapat menelitinya lebih lanjut, dan masyarakat umum. Kunjungan dari
sekolah-sekolah tercatat meningkat dengan adanya peraturan wajib kunjung museum
di sekolah-sekolah. hal ini pula dikarenakan adanya hasil dari penelitian yang
menyatakan bahwa bangunan benteng ini memiliki nilai edukasi yang tinggi, yang
kemudian dicanangkan sebagai museum sehingga dapat lebih bermanfaat
dibandingkan hanya sebagai sebuah bangunan peninggalan sejarah saja, maka dari
itu benteng ini telah beralih fungsi disesuaikan dengan kondisi dan komposisi
masyarakat kini yang sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan masyarakat lalu
yang hanya menggunakan benteng ini sebagai tempat pertahanan dan perlindungan.
Sama halnya dengan ruang atau
bangunan sekitar benteng yang sudah tidak berfungsi seperti parit yang
mengelilingi benteng yang pada jaman dahulu digunakan sebagai sarana strategi
perang kini di aktifkan kembali agar tidak mati fungsi bagitu saja, dengan
dilakukan perbaikan-perbaikan yang kini tengah mulai di kerjakan. Hal ini
menambah jelas perubahan fungsi dari benteng itu sendiri.